SAAT KISAH BERKATA

Gambar

12 bulan 3 minggu 7 hari 18 jam lebih 37 detik yang lalu, pertama kali mataku melihatnya. Ia memasuki ruang kelas ini, dengan sikap cool yang ia tampakkan membuatku terpaku menatapnya. Ia tak menghiraukan orang di sekelilingnya yang tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tatapannya fokus namun cenderung semu. Aku tak dapat membaca ekspresi itu, ekspresi yang terlalu rumit untuk ku pahami. Ia terus berjalan, dalam bayanganku saat ini adalah adegan ‘slow motion’ dimana aku berperan sebagai seorang cewek yang terpukau akan pesona seorang cowok. Kemudian ia berdiri di hadapanku, ia tersenyum padaku…ohh sungguh manis sekali. Ctak!!! Sebuah pesawat dari kertas mendarat di keningku, sontak mengejutkanku dan adegan ‘slow motion’pun berhenti. Ternyata itu hanya lamunan indahku tentangnya, yang terjadi adalah dia lewat dihadapanku begitu saja, melewatiku yang sedang duduk dan memandangnya. Ia duduk di bangku samping kiri ku, jaraknya hanya satu langkah dengan bangku yang aku tempati.

“hai…” Aku mulai menyapa teman baruku itu. Ia hanya menatapku dengan tatapan semunya, “Aku Felly, kamu?” Tiba-tiba aku nervous,…

“Adit…” ia tersenyum dingin, ia mengulurkan  tangan untuk menjabat tanganku. Aku dan Adit berjabat tangan selama 7 detik lamanya, hatiku terasa meledak. “salam kenal” aku pun membalas senyumannya. Karena ini hari pertama semester baru dimulai, pelajaran tidak berjalan sesuai semestinya. Banyak jam kosong, sehingga sebagian besar siswa menghabiskan jam kosong mereka dengan bermain di dalam ruang kelas. ada yang bermain pesawat dari kertas, ada yang sedang bercerita tentang pengalaman-pengalaman aneh, ada yang sedang sibuk piket, ada pula yang sibuk dengan handphone dan laptop yang mereka bawa. Tapi ada satu orang yang tampak damai dan menyendiri di bangkunya, ya… Adit, tak seperti yang lainnya, ia hanya diam dengan headset di kedua telinganya, ia tidak bersuara hanya sedikit tertunduk membaca komik di atas mejanya.

Telah setengah tahun Adit menjadi teman kelasku, aku kini melihatnya jauh lebih baik dari Adit yang dulu. Adit memang pendiam, tapi bukan berarti dia tidak perhatian terhadap sekelilingnya. Dia cowok yang almost perfect, dia tinggi, handsome, putih dengan tatapan cool yang tak pernah lepas dari matanya. Aku akan berterus terang, bahwa aku menyukainya. Tapi, aku rasa aku tak pantas memiliki perasaan seperti ini terhadapnya. Dapat dekat dan akrab dengannya saja aku sudah bahagia, jadi aku tidak akan berharap lebih, karena hal itu akan menyakiti perasaanku sendiri. Ketika aku berikan senyuman, dia juga membalas senyuman itu, ketika sikapku sedikit berubah, dia selalu menanyakan mengapa, dan ketika aku membutuhkan bantuan dia selalu datang.

Mungkin dia melakukan itu karena etika yang selalu ia jaga, mungkinkah perasaan ku akan ia rasakan? Aku rasa tidak, ada kalanya aku merasa akan tetap mempertahankan perasaan ini namun ada kalanya keadaan membuat perasaanku mengatakan bahwa aku harus melepaskannya. Saat kisah-kisah indah bersamanya muncul dalam benakku,seakan kisah itu berkata bahwa Adit juga memiliki rasa yang sama sepertiku. Aku menyusuri koridor sekolah, hanya ada beberapa teman yang masih berlalu-lalang. Termasuk Adit, ia berdiri seolah menunggu seseorang.

“hai,Dit. Emm,tumben belum pulang?” aku mencoba bersikap biasa, sekuat tenaga aku menahan diriku agar tidak salah tingkah. “belum, tadi ke kantin dulu. Makan” ekspresinya datar.

“ohhmm…” aku mulai kehabisan kata-kata. Kemudian ia menatapku dan itu membuat jantungku berdebar kencang… “kamu sendiri? Kenapa belum pulang” sekilas aku menatapnya dan terpaku, “aku…belum…dijemput”.Dia lalu diam, hingga pada akhirnya “aku duluan ya Felly”, aku hanya menganggukkan kepala padanya. Itu adalah menit-menit terindahku, bisa bersamanya beberapa menit saja dapat membuatku bahagia.

Kisah lain ku dengan Adit. Ketika aku, Adit dan empat temanku akan menyaksikan pertandingan basket. Aku suka teman-temanku, karena mereka selalu give me more time to close with him, dan kesempatn yang mereka berikan agar aku dapat dekat dengannya selalu menjadi kisah-kisah  indah ku bersama Adit.

“Rik, aku ntar berangkat nonton basketnya bareng kamu ya?” pintaku pada Riko saat jam istirahat, Riko adalah teman sekelasku.

“yah, maaf banget Fel, ntar aku sama Diana. Kamu bareng sama Adit aja ya. Dia kan gak bonceng siapa-siapa tuh” jawaban dari Riko membuatku senang sekaligus gugup.

“aduh, gimana ya? gimana kalo Adit gak mau?” aku mulai bingung.

“dia bakalan mau kok. Ya udah ya Fel, kamu tanya sana sama si Adit. Aku mau ke kantin dulu.” Riko keluar dari kelas dan kini aku sendirian. Aku masih gugup bagaimana cara ku untuk bertanya pada Adit. “hanya bertanya, apa susahnya??! Tapi rasanya berat banget….” pikiranku kacau. Tak terasa bel pulang sekolah berdering, saat berada di parking area di belakang sekolah, aku memberanikan diri untuk berbicara pada Adit yang nampak telah siap untuk menaiki sepeda motornya.

“Adit,..” aku benar-benar gugup. “iya???” jawabannya masih sama, nadanya datar dan ekspresinya dingin. Aku sempat takut, apakah aku akan mendapat rejection?

“ aku boleh bareng kamu gak? Ke tempat tanding basket?” aku sempat menahan nafasku selama beberapa detik, hingga ia menjawab,

“ohh… iya.” Jawaban yang singkat tapi setidaknya itu membuatku lega dan bahagia. Akhirnya aku berangkat dan pulang bersamanya, bisa sedekat ini dengan Adit membuat perasaan ini perlahan semakin tumbuh. Terbersit dalam benakku untuk ingin memiliki dia, tapi segera ku buang pemikiran itu,  karena aku tahu hal itu akan membuatku terjerumus pada luka yang dalam. Perjalanan yang indah. Aku tak ingin perjalan ini berakhir, menikmati suasana jalan raya pada sore hari dengan Adit, dan mengobrolkan sesuatu menuju jalan pulang. Sungguh indah.

Kisah itu telah mengatakan padaku betapa aku sangat menyukainya. Tapi kisah itu mungkin tak cukup kuat untuk mengatakan pada Adit tentang kenyataan yang indah mengenai perasaanku. Kenangan itu nyatanya masih membekas dalam benakku, kini aku telah jauh dengannya. Jarak telah membuatku rindu dengan semua kisah-kisah itu. Ya, aku pindah sekolah ketika kenaikan kelas XI. Aku belum pernah menyampaikan perasaanku, begitu pula Adit, tapi selama ini kami masih saling mengabari keadaan satu sama lain.

Hari ini aku mengunjungi sekolah lamaku, sekolah baruku mengadakan libur khusus selama satu minggu. Aku berdiri di depan kelas lamaku. Tampak beberapa mata para junior memandangiku, kemudian aku keluar. Saat aku berada di koridor sekolah, aku melihat beberapa teman-teman lamaku. Saat itu sedang jam istirahat, mereka bilang mereka sangat merindukanku, akupun demikian. Setelah beberapa saat aku melepas rasa rindu bersama teman-temanku, kemudian aku berjalan menuju mading sekolah. Aku melihat sosok yang tak asing bagiku, mataku menelusuri sediap detail sudut ekspresinya.

“Adit…” tebak ku. Ia memandangku dan diam sejenak, “masih ingat aku nggak?” tambahku.

“Felly kan.” Ada simpul senyum di bibirnya.

“iya. Aku kira kamu udah lupa sama aku.” Ku lontarkan nada canda kepadanya.

“sempat pangling sih… Rambut kamu dulukan agak pendek. Sekarang panjang gitu” tatapan semu dan dinginnya membuat perasaan itu tumbuh lagi.

“bisa aja kamu Dit…” pembicaraan itu berakhir karena bel pelajaran telah berdering.

Dua hari telah berakhir, ini adalah hari ke-enam aku berlibur disini. Dan hari ini adalah hari Minggu, sebuah pesan singkat membuatku terpaku. Adit mengajakku jalan-jalan, tanpa pikir panjang, setelah aku bersiap-siap, aku  menuju ke tempat yang telah disepakati. Ternyata Adit telah menungguku disana, di taman bunga dekat dengan tempat pertandingan basket dulu. Entah mengapa kisah-kisah yang dulu terbayang kembali, saat-saat indah bersama Adit. Kami saling bercerita dan bercanda seakan saling melepas rasa rindu yang ada dalam diri kami berdua.

“besok aku pergi. Makasih ya untuk hari ini.” Ketika hendak pulang aku mengucapkan terimakasih padanya,

“iya… sama-sama.” Kemudian kami saling diam untuk beberapa saat. Hanya tatapan mata kami yang seakan berbicara bahwa perasaan itu datang lagi.

“oh iya Fel… aku suka sama kamu.” Kata-kata itu yang selalu aku nantikan dari seorang Adit, akhirnya aku mendapatkannya. “aku juga suka Dit sama kamu.” Senyum tulus ini ku berikan padanya.

“sebenernya dari dulu sih aku suka sama kamu Dit. Dulu aku juga berharap kamu suka sama aku, eh, taunya malah sekarang. Setelah jarak antara kita jauh banget, hhehe. Sayang  banget ya Dit. Ehh, tapi aku seneng. Akhirnya kamu tau kalo aku suka sama kamu dan kamu suka sama aku.” Entah mengapa kata-kata itu mengalir dengan lancar.

“aku juga Fel. Makasih atas perasaannya.” Senyuman Adit tulus walaupun tatapannya semu, aku tahu itu.

“iya sama-sama Dit. Dulu aku ppernah berpikir. Cukup tahu aku suka sama kamu dan kamu juga suka sama aku. Itu aja udah bikin aku seneng banget Dit.” Setelah kami saling meluapkan isi hati yang tak sempat tersampaikan, akhirnya kami pulang. Keesokan harinya aku bergegas untuk kembali ke tempat dimana sekolahku telah menunggu untuk memulai pelajaran. Adit mengantarku sampai di Air port,

“jangan lupa tetap hubungi aku ya Dit.”

“iya. Kamu juga ya Fel.”

Setelah itu hingga kini, aku belum melihat Adit lagi. Aku tidak dapat mengunjungi daerah lamaku karena kesibukanku. Tapi kami masih sering kirim mengirimii pesan singkat melalui handphone, hingga aku merasa bahwa kami masih dekat. Diantara kami tidak ada kata ‘jadian’ padahal dari dulu aku berharap dia menyatakan perasaannya sekaligus meminta padaku untuk menjadi pacarnya, namun itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah dia hanya menyatakan perasaannya tanpa memintaku utnuk menjadi orang teristimewa adalam hidpnya. Tapi tak apa, setidaknya di antara kami juga tidak ada kata ‘putus’ karena jika itu terjadi maka aku tidak akan pernah dapat memilikinya lagi. Biarkanlah waktu yang akan  menyatakanku untuk menjadi seseorang yang teristimewa bagi Adit.

Hati seseorang itu bagaikan kacang tanah, bagaimana bisa kita tahu ada biji di dalamnya  jika kita tidak membuka kulitnya. Jadi, bagaimana seseorang tahu kita menyukainya jika kita belum membuka hati kita dan menunjukkan padanya tentang isi hati kita. Dan baiknya ketika dia sudah tahu, itu sudah cukup untuk membuat kita lega tanpa harus berharap lebih akan mendapat jawaban YA atau TIDAK. Karena ketulusan itu tanpa imbalan.

-ninie-

SAENG–IL CHUKAHAMNIDA

By: Heny Aprillia

Gambar

 

 

 

 

Tepat tanggal 22. Ini salah satu hari terpenting dalam hidupku. pada angka yang sama, waktu yang sama. Hanya saja tahun, hari dan suasananya berbeda. Kenyataan telah membawaku sejauh ini, memberi berjuta makna. Kuatnya keinginanku untuk  mengenal cinta,  mengalahkan rasa takutku. Aku hanya berfikir secara sederhana, saat itu. Ku pikir cinta itu suatu hal yang dapat merubah hal buruk menjadi indah untuk selamanya.

                Namun ternyata, cinta seperti itu hanya ada dalam skenario buatan. Drama, sandiwara yang mengelabuhi setiap orang ketika melihatnya. Sandiwara yang meng-atasnamakan cinta di dalamnya. Cinta yang digambarkan dengan sempurna, itu membuatku lupa bahwa cinta tak pernah berakhir dengan bahagia. Selalu menyelipkan luka di setiap kedatangannya, dan selalu meninggalkan kepedihan di setiap kepergiannya.

                Aku tak akan pernah melupakannya, meski ku tahu dia tengah berhasil melupakanku. Baginya, aku sangat mengenal cinta. Namun, aku sendiri tak begitu mengerti apa itu cinta, dari mana asalnya, untuk apa ada cinta, dan mengapa sekarang aku membicarakan cinta?!! (Ini membosankan)  –___–

                Ku tahu, aku bukanlah cinta yang menaburkan tawa, aku tahu seberapa dalam luka itu, tapi maaf aku tak bisa mengobatinya, tak mungkin untuk sekarang, esok maupun dikemudian hari. Cinta adalah perpisahan yang terindah. Hanya sekedar itu kini yang ku tahu tentang cinta.

                Kini aku hanya bisa menyampaikan pada kelip bintang yang menari-nari di atas awan. Ku hanya bisa menyelipkan salam pada bulang yang tersipu dalam kegelapan cakrawala, yang bahkan tak menebar sinarnya. Berharap perasaan ini akan tersampaikan.

                Cinta adalah sumber untuk menghirup kehidupan, namun perpisahan adalah hebusan nafas kehidupan. Sungguh dua hal yang sangat berbeda, bertentangan dan membingungkan. Aku memandang perasaanmu dengan sempurna, berharap tak akan ada lagi kenangan di hari-hariku selanjutnya. Tapi hidup akan tetap berjalan, waktu akan terus berputar dan mentari akan selalu berpijar.

                22 hari merupakan penantian terindah. 22 hari yang ku butuhkan untuk menunggu agar aku dapat menerbitkan halaman ini. Sekaligus 22 hari penantianku untuk menanyakan . . .

                “kita teman?? Untuk kemarin, hari ini . . . esok dan seterusnya! ^_^”

Tak ada hal terindah selain mendapatkan jawaban ‘IYA’ dari mu…

Untuk hari ini, semoga kebahagiaan akan selalu menjadi pendampingmu dan apa yang kau harapkan . . . akan kau dapatkan.

Saeng–il Chukahamnida :*

Sebuah Arti

By: Heny Aprillia

Getaran cinta merasuk dalam jiwa…

Buka sedikit celah mencintainya…

Dan ketika detik waktu ku habis dengannya…

Izinkan cinta ini hidup sekali saja.

 

Keindahan tak rupa…

Ketika aku merasakan adanya mencintai dan dicintai…

Sekalipun pada akhirnya…

Ku rasakan perihnya tersakiti dan disakiti….

 

Semua terjadi tanpa ku sadari…

Sedang Bunga yang mekar disuatu musim…

Dan layaknya air mengalir di bawah angin…

Sandaran hati yang menepi…

 

Karena sesungguhnya itulah sebuah arti…

Rumit namun mudah dimengerti…

Sebuah arti untuk  menjalani…

Lembar kisah hidup ini . . .

Secarik Rasa

By: Heny Aprillia

Waktu lampau yang kau miliki. Terlalu indah untuk ku saksikan

Lembar memo yang kau simpan. Terlalu  rumit untuk ku pahami

Secarik kisahmu yang dulu bersamanya. Terlampau usang untuk ku baca

Garis takdir yang terbentang . Terlalu berliku untuk ku jalani

 

Kini bahkan, embun yang suci  mulai memudar

Seiring tibanya sang surya menyinari

Entah Tuhan berkehendak apa setelah ini??!

Malaikatpun tak mengetahuinya

 

Namun biarlah luka ku ini terobati. Dengan adanya dirimu di sampingku

Bukan dengan cinta yang berteguh padan menyatu dengan kekosongan

Melainkan dengan jujurnya kasih sayang

Bait dalam secarik kertas ini, mewakili perasaan terdalam

Secarik puisi ketulusan . . .

Namun secarik rasa ini, ku petik dari hati terdalam . . .

Tentangmu…

By: Heny Aprillia

Sendu malam mengoyak rindu

Dalam lamunan indahku tentangmu

Hembus angin menampar wajahku

Menyadarkanku tentangmu…

Bayang – bayang kosong yang dulu

Kini terisi penuh sipu

Tentangmu langitku biru

Awanpun tak lagi kelabu

Tentangmu, duniaku terlampau indah

Pelangiku tak lagi datang usai hujan reda

Lamunan tentangmu, pelangiku selalu ada

Tanpa badai yang menerpa

Hati… tentangmu bagaikan ukiran di atas kayu

Terukir indah nan dalam

Tentangmu yang tak berucap ragu

Bagaikan bulan menjadikan malam

Andaikan rumput berembun girang

Perasaanpun kadang melayang

Tentangmu gundahku hilang

Menempuh rintangan yang menjulang

Menuai sepi tentangmu . . .

Menatap Hari Esok

By: Heny Aprillia

Matahari pagi masuk, menerobos jendela kamarku. Pagi ini adalah pagi musim dingin, dan pagi pertamaku di Seoul. Perkenalkan, namaku Kim Soo Eun, aku bagaikan seorang putri di rumah, walaupun orang tuaku memanjakanku tapi aku selalu berusaha untuk melakukan semua tugasku sendirian. Pagi ini aku selesai makan pagi dan akan menuju ke sekolah baruku. Hyong Geou, sekolah terfaforit di kota ini. Pagi ini aku  melangkahkan kaki di ruang kepala sekolah, dengan membawa sekeranjang buah untuk kepala sekolah baruku. Tidak lama setelah itu, aku  menuju kantin sekolah. Kantinnya bersih, makanannya lezat dan tampak indah.

“tolong teh hijaunya ya.” akuu memesan minuman. Hhemm,,, betapa segar minuman ini.

“setelah ini, aku harus mencari kelasku. Hhuuh, betapa luas sekolah ini. Baiklah! Aku akan mencarinya. Hyeong Geou kelas 12 ruang 7, aku ingat itu. Ayo kita mulai!!!” semangat untuk diriku sendiri.

Aku mulai berkeliling, aku telah melewati beberapa ruangan. Tapi, aku belum menemukan ruang kelasku. Aku terus melihat tulisan di atas pintu,

“ruang praktek,… yang itu perpustaka…” belum selesai celotehanku, seseorang menerobos lari. Bbrraaakk!!!

“hey! Kau ini…. uuuwwhh, kau tidak lihat jalan seluas ini! Bisa – bisanya berlari, aauuhh, lihatlah akibat perbuatanmu!”

“siapa kau? Berani – beraninya padaku. kau siswa baru? Oh, pantas saja” celotehnya. Lalu berjalan meninggalkanku.

“memangnya siapa kau?!! Dasar, menyebalkan.” Teriakku kepadanya, tapi dia tidak menghiraukan ku.

Setelah beberapa saat, seorang wanita cantik datang, sepertinya dia seumuran denganku.

“butuh bantuan?” senyum manispun mulai dia tunjukkan. Lalu kami berdua berjalan bersama.

“apakah kau siswa baru di Hyong Geou? Aku tidak pernah melihatmu?” dia mulai bertanya.

“i..iya. aku baru saja pindah dari Hongwon, salam kenal namaku Kim Soo Eun. Kau? Siapa namamu?”

“namaku Hyo Min Woo. Kau menempati ruang berapa?” Min Woo bertanya padaku.

“aku? Ruang 7 kelas 12. Apakah kau tahu ruangan itu?”

“kau? Satu ruangan denganku Soo Eun.” Senyum manisnya tampak lagi. Beberapa saat kemudian, bel masuk berbunyi. Aku dipersilahkan masuk dan memperkenalkan diri.

“salam kenal, aku Kim Soo Eun. Aku baru pindah dari Hongwon. Mohon bimbingannya ya” aku segera membungkukkan badan untuk memberi salam dan saat aku berdiri tegak, aku melihat seseorang yang tadi menabrakku di depan perpustakaan.

“hhaa??? Kau!” gerutuku dalam hati. Beberapa saat setelah itu, aku dipersilahkan duduk. Tepat di samping seseorang yang menyebalkan itu. Pelajaran telah kami lalui, kini saat istirahat. Aku tidak menyangka bahwa aku akan segera mendapat teman di ruangan ini, senang sekali rasanya. Setelah semua teman – temanku pergi menuju kantin, tinggallah aku sendirian. Oh, tidak tidak, lebih tepatnya, di ruangan itu hanya ada aku dan manusia menyebalkan.

Walaupun aku tidak melihatnya, tapi aku yakin dia sedang memandangiku sekarang. entah apa  lagi yang akan di lakukannya. Tapi, aku tidak dapat mengelak untuk mengakui bahwa dia terlalu dingin, dia adalah perfect boy*

“bukankah kau manusia lemah tadi pagi? Hhah! Ternyata, kau masuk ke ruangan ini.” Suaranya yang dingin itu, membuatku geram. Aku menatapnya dalam – dalam,

“kenapa kau? Kau pemangsa manusia?” celotehnya.

“apa kau tidak menyadari kesalahanmu?!! Hah!” kemarahanku hampir meledak. Perlahan, dia mulai mendekatiku, semakin dekat dan semakin dekat. [aku takuuuttt… apa yang akan dilakukannya].

“a..aa..apa yang kau lakukan! Menyebalkan.” Aku semakin terdorong ke belakang, namun, tatapan dinginnya membuat amarahku hilang, dan kini gugup menyerangku.

“apakah… pernah ada yang menyatakan cinta padamu?” nada bicaranya mulai berat.

“ahh.. hapa – apaan kau ini! Aku tidak tertarik dengan lelaki manapun!” aku berusaha tenang. Dan dia mulai berdiri tegak di hadapanku.

“pantas saja! Kau, terlalu tegang.” Senyum kemerdekaannya membuat aku geram,

“kau ini…. menyebalkan!!!” lalu aku bergegas menuju kantin. Ketika aku membuka pintu, ternyata teman – teman tengah memperhatikan aku dan manusia menyebalkan itu. Braaakk…. mereka semua terjatuh.

“kk..ka.. kalian sedang apa?? Hhhoo” aku keheranan, lalu Min Woo segera menarik tanganku dan kami sedang duduk di bangku kantin sekarang. kami memesan mie ramen dan teh hijau. Aku melahap mie ramen itu, dengan perasaan geram.

“hhaakh,.. apa yang kau lakukan dengan Kim Yoo tadi Soo Eun? Apakah, kalian tadi,… aku  melihat kau dan dia dekkaaatt sekali, seperti ini” Min Woo menempelkan kedua telapak tangannya.

“apa – apaan kau ini. Hhaah? Jadi namanya Kim Yoo?!! Dasar dia itu laki – laki yang menyebalkan. Memangnya siapa dia berani – beraninya menindasku? Memanghagdgajgjsgfsuyr” sebelum aku melanjutkan perkataan ku, Min Woo segera menyekap mulutku. Aku coba meronta agar tangan Min Woo lepas dari mulutku.

“apa yang kau lakukan Min Woo?!! Hhaggk,, kau ini…”

“hhaahh… maafkan aku Soo Eun. Ssttt! Pelankan suaramu. Dengarkan aku, Kim Yoo adalah,.. putra dari pemilik Hyong Geou, dan dia adalah laki – laki idaman bagi semua siswi di sekolah ini.” Senyum penuh keromantisan diluapkan Min Woo.

“ha?!! Orang seperti dia?… apa benar dia sehebat itu?” tanyaku heran. Namun, senyumm kebahagiaan Min Woo hilang.

“tentu saja! (aku tersedak sesaat, aku ketakutan) tentu saja tidak. Itu maksudku, maaf membuatmu kaget ya? tapi, penampilannya sangat berkelas bukan? Jadi… tidak masalah” Min Woo berceloteh, namun aku tidak menghiraukan itu,

Bel pulang telah berbunyi sekitar 15 menit yang lalu, ruang kelas mulai sepi. Tinggal aku sendirian di ruangan ini, suasana kelas yang dapat menenangkan hati. Sekitar 4 meter, di sebelah kanan ada pantai yang indah, aku dapat melihat matahari terbenam disini, ku pejamkan mataku, menikmati gemericik air laut yang lembut serta angin yang menerpa rambutku. Lalu perlahan aku membuka mataku, namun tiba – tiba… aku merasa sekujur tubuhku kaku. Tepat di depanku, Kim Yoo memandang ku #sepertinya dia sedang memandang remeh diriku!

“kau, manis…” lalu beranjak duduk di depanku.

“apa yang kau lakukan. Aku sedang ingin menikmati kesendirian.” Aku bingung, kejadian hari ini benar – benar membuatku bingung.

“aku? Hanya sekedar menikmati matahari terbenam.” Kim Yoo melihat kearah jendela, akupun mengikutinya, sambil melepas kaca mataku.

“kau terlihat lebih manis tanpa kaca mata itu. Rambutmu, tergerai. Sempurna!” lalu Kim Yoo bangkit dan menatapku. Akupun menatapnya.

“kau, …” lalu aku tertunduk.

“kenapa…?” Kim Yoo sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku.

“apanya?” aku benar – benar lelah jika harus menghadapi seseorang seperti Kim Yoo,  menyebalkan.

“kenapa kau memandangku seperti itu.”

“hah?? (aku kembali memandangnya) lihatlah dirimu. Kau benar – benar tidak tahu sopan santun ya. kita harus memandang orang yang sedang berbicara pada kita bukan?” aku lega pengetahuanku ternyata masih tersimpan dengan baik.

“bukan itu,”

“lalu?”

“kenapa hanya sebentar kau memandangku?” kini suaranya tidak sedingin biasanya.

“hehgk… (nafas berat mulai ku hembuskan) sadarkah kau? Kau ingin melepaskan mataku, kau terlalu tinggi. Kau lihat sendirikan, aku duduk di sini dan kau berdiri di depanku, lalu aku harus terus memandangimu?!! Apa kau sudah gila”

“baiklah, jika begitu kau harus berdiri. Pulanglah! Hari mulai gelap.” Dia bicara padaku, lalu pergi. Jadi, untuk apa aku berdiam diri di ruangan ini, baiklah aku pulang.

Hari – hariku selalu kulalui dengan senyuman, dan hari ini tepat tiga tahun aku berada di Seoul. Begitu pula di Hyong Geou, aku akan menghadapi Ujian Sekolah satu minggu lagi. Aku semakin dekat dengan teman – teman di kelas, kami sudah sangat dekat.

“hheemmm,,. Aku ingin membeli sup rumput laut.” Malam ini, sangat dingin, tapi aku ingin sekali membeli sup rumput laut, walaupun ibu menawarkan diri untuk membeli sup untukku, namun aku menolaknya,

“aku akan membelinya sendiri bu, aku ingin jalan – jalan. Aku berangkaaattt. Selamat malam” Lalu aku bergegas keluar. Hhuufff… memang dingin malam ini. Kini aku sendirian menyusuri jalan, setelah aku mendapatkan sup itu, aku berniat pulang, tapi melalui jalur yang berbeda yang tak pernah ku lalui. Langkahku terhenti, disebuah taman pinggir kota yang ditumbuhi pohon bunga sakura. Tampak indah sekali. Aku memutuskan untuk menikmati sup di tempat itu.

“aahhh… enak sekali. pantas saja Kim Yoo selalu membicarakan sup ini” Senang rasanya berada di tempat ini. Aku melihat sekeliling,

“sangat inda…..” kata – kataku terputus, aku melihat Kim Yoo duduk di bangku tepat di belakangku.

“hhuuffpptt!! kenapa dia di sini? Dia adalah penguntit!” aku berusaha memalingkan muka dari Kim Yoo. Dan beranjak pulang.

“Kim Soo Eun!!!” suaranya dingin sedingin malam itu. Ternyata dia benar – benar seorang penguntit.

“i… iya! Kim Yoo, se.. selamat malam,.” Aku  menatapnya mematung di depannya. Aku segera membungkukkan badan dan meminta maaf padanya.

“kenapa kau memilih kabur jika bertemu denganku?”

“maaf… bukan maksudku seperti itu. Aku hanya…” sebelum aku selesai bicara, Kim Yoo telah menarik tanganku dan kini aku duduk di sampingnya, tepat disampingnya. Kami saling berbicara. Setelah itu kami pulang.

“kau, penguntit!” aku mengawali pembicaraan.

“kau terlalu yakin pada dirimu sendiri Soo Eun.” Lagi – lagi suaranya yang dingin itu membuat jantungku berdegup kencang.’

“bagaimana kau tahu aku ada di sini?”

“karena ini adalah tempat yang selalu kau kunjungi setiap kali kau merasa lelah.” Senyum tipis kini menghiasi bibirnya.

“kau, “

“apa?!!” kini dia menatapku

“tidak,.. bukan. Lebih baik, kita pulang, ini sudah larut. Hehe” lalu kami pun pulang.

“aku pulang bu….” aku  menuju kamar dan menutup pintuku. Aku duduk di daun jendela yang besar di kamarku, menatap pantai sebelah sekolah yang tak jauh dari rumah. Ya.. kamarku berada di lantai atas, jadi pemandangan di kamarku cukup menarik. Entah mengapa beberapa hari terakhir ini, aku sering memikirkan Kim Yoo,

“aaahhhggkkk,,… tidak mungkin aku menyukainya! Bukankah aku membencinya, bukan! Aku hanya sekedar mengaguminya. Ya, hanya sekedar mengaguminya. Kim Soo Eun. Hentikan!” aku bergumam, lalu menuju tempat tidur, aku terlalu lelah aku tertidur hingga pagi menyapaku. Seperti biasa, aku berangkat menuju sekolah, namun pagi ini aku  bangun terlalu siang jadi tidak ada waktu untuk makan pagi.

“kau terlihat pucat Soo Eun.” Min Woo mulai memeriksa suhu badanku, dia menyentuh keningku.

“aku… tidak apa –apa. Aku tidak sakit, tenang saja.”

“benar begitu?… aku sedikit tidak yakin.” Min Woo mulai waspada.

“jangan terlalu memikirkan aku.”

“iya. Tapi, sebaiknya kau tidak perlu mengikuti olah raga hari  ini.” Min Woo sangat perhatian padaku, dia adalah sahabat yang baik. Tampak dari kejauhan, Kim Yoo sedang menatapku.

“a.. apa yang dia lihat? Apa… ada yang salah denganku? Ah, biarlah.”

“kau sakit Soo Eun?” tanya Baek Hye, salah satu teman kelas ku ketika ia mengisi daftar hadir di hadapanku.

“iya, mungkin hari ini aaku tidak ikut pelajaran. Selamat berjuang ya.”

Kim Yoo bangkit dari duduknya dan menuju kearahku, tetap menatapku. Sedikit pandangan ku lakukan untuk melihatnya. Lalu Kim Yoo mengisi daftar hadir itu,

“Kim Yoo! Ayo cepat,..” Baek Hye membuyarkan pandangan kami.

“tapi aku sakit Baek Hye. Bagaimana ini” Kim Yoo mulai merengek, dengan nada bicara yang dingin. Kali ini dia benar – benar memandang rendah diriku!

“apa – apaan kau ini! Apa kau meledekku!” pikiran itu aku pendam tapi ku tunjukkan dengan caraku melihatnya. Setelah pelajaran selesai, kami pulang. Hari ini seperti biasa, setiap hari Senin Min Woo bermain ke rumahku, kami berada di kamar sekarang.

“Kim Yoo??? Ahh! Mengapa aku memikirkannya. Hemb, teman, hanya sebatas teman???. Memang, seberapa besar harga diriku? Jika aku menyatakan perasaan ku padanya, ahh! Aku rasa itu ide terburuk Soo Eun” senyum ceria itu, Min Woo membuat aku merasa hampa.

“hha..? i.. i.. iya. Itu bag.. bagus.” Aku merasa sekarang jantungku berada di kerongkongan.

“apa! Itu bukanlah ide yang bagus Soo Eun! Aoyama benar – benar payah, memberikan ide seperti itu. . Soo Eun, kau mengertikan?! Lalu aku harus bagaiman? Aku, rasanya tak sanggup memendam perasaan ini.” Min Woo menyadari lamunanku.

“tet… tentu saja aku mengerti. Min  Woo, bertahanlah! semangat.” Lalu, setelah kami kenyang dengan candaan yang telah kami buat bersama, Min Woo pulang. Tinggallah aku sendiri di kamar dan merenungi semua perasaanku.

“aku tidak di takdirkan untuk menyampaikan perasaanku pada Kim Yoo. Bahkan Min Woo yang cantik sekalipun tak berani menyampaikan perasaannya. Aku! Harus menghentikan semua ini! Ya… harus.”

Tak terasa, hari ini adalah hari ketiga aku dan teman – teman menghadapi ujian tulis untuk kelulusan. Dan hari ini aku telah bertekad untuk tidak memperdulikan tentang Kim Yoo lagi. Di tengah – tengah mengerjakan soal, tiba – tiba aku ingin berkeliling sebentar, soal yang ku kerjakan terlalu rumit. Aku menyusuri koridor. Tepat di depan perpustakaan, aku melihat Kim Yoo.

“lupakan dia Kim Soo Eun” aku berceloteh,menarik nafas dan menghembuskannya. Berusaha menyingkirkan pikiran tentang Kim Yoo.

Namun, lagi – lagi ini semua diluar kendaliku. Kim Yoo menghentikan langkahku,

“apa kau sudah selesai?” nada dinginnya keluar lagi.

“ya.” Aku mempersingkat jawabanku,

“Berilah aku jawaban soal 18.” Dia berlalu meninggalkanku menuju ruangan terlebih dahulu,.

“u.. untuk.. untuk apa?! aku harus melakukannya?!!” aku takut perasaan mengaguminya akan kembali. Bagaimana ini???

“terimakasih.” Kim Yoo berucap padaku dengan senyumannya.

terimakasih’??? aku memang pernah berharap dia mengucapkan kata itu untukku, namun bukan untuk jawaban dari soal yang telah aku kerjakan, melainkan untuk perasaanku yang ku pendam untuknya. Tapi, biarlah, itu cukup membuatku bahagia.

Hari ini adalah hari kelima, untuk kedua kalinya dia bertanya padaku tentang jawaban. Saat ini aku benar – benar membutuhkan jawaban namun ketika aku memanggilnya, dia mengacuhkanku.

“dasar menyebalkan…” gerutuku.

Beberapa saat setelah itu, Kim Yoo kembali memanggilku.

“apa!” aku benar – benar kecewa.

“jawaban itu yang kedua.”

“bohong…” dia balas tersenyum padaku.

“percayalah.” Dia mencoba meyakinkanku.

Aku terlalu luluh dengan senyumannya. Aku tak menyangka, ternyata Kim Yoo diam untuk mencari jawaban yang tepat. Seluruh siswa telah pulang, hanya ada beberapa yang masih berada di sekolah.

“apakah…kau membohongiku?” aku menatapnya dalam – dalam.

“apa? Tentang jawaban tadi??? Untuk apa aku  membohongimu.” Nadanya tetap dingin namun membuatku tenang.

“hheemmm….” Lalu aku beranjak pulang. Sebenarnya, bukan tentang jawaban tadi, tapi tentang kedekatan kami selama ini.

Hari telah berganti,. Semua telah ku lalui. Kini saatnya pengumuman kelulusan. Aku mendapat penghargaan menjadi siswa terbaik di sekolah.

Semua beranjak pulang, namun tidak denganku. Aku memutuskan menuju ruangan kerajinan untuk membuat vas bunga, agar aku memiliki kenang – kenangan dari sekolah ini, walaupun sendiri aku membuatnya dengan penuh perasaan agar hasilnya bagus.

Tiba – tiba seseorang masuk, Kim Yoo tengah berdiri di depanku. Kini ia berada dihadapanku.

“kau, tidak berbakat membuatnya Soo Eun.” Kim Yoo menatapku.

“aku tidak peduli apapun yang dikatakan orang lain. Aku percaya pada diriku sendiri.” Aku memamerkan senyum girang di hadapannya.

“kau ini (kini senyum manis dia berikan untukku) kau adalah Kim Soo Eun yang selalu ceria.” Senyumnya mengembang, tak pernah ku lihat sebelumnya. Aku hanya menatapnya. Ia mulai mengambil vas yang baru saja aku buat.

“biar aku yang menghias.” Kim Yoo terlihat sangat gembira. Ia menuliskan huruf ‘K & K’

“apa artinya… Kim Yoo???”

“Kim Yoo & Kim Soo Eun.” Jawabnya singkat, setelah kami membakar vas itu dan mendapat hasil yang memuaskan, kamipun pulang. Kali ini, Kim Yoo bersedia mengantar ku sampai rumah. Kami menyusuri koridor demi koridor sekolah, tepat di depan ruang musik 1B, kami berhenti.

“kenapa? Belakangan ini, kau tidak memperdulikanku sedikitpun Soo Eun?”

“aku… tidak ingin melukai perasaan Min Woo. Kau tahu? Dia sangat menyukaimu.” Senyum tipis ku tunjukkan, aku ingin menyembunyikan perasaanku ini.

“Min Woo? Aku menganggapnya teman, tidak lebih. Kau tahu itu bukan?!!” beberapa saat kami mendengar alunan biola, ternyata les biola hari ini terdengar sangat sendu.

“jujurlah pada perasaanmu! Soo Eun” lanjutnya

“apa? Apa karena ini kau mendekatiku?” aku takut jika harus menangis bahagia disini, dihadapan Kim Yoo.

“aku menyukaimu.” Aku tersentak kaget mendengar kata – kata Kim Yoo yang mendarat di hatiku secara tiba – tiba.

“aku tidak berkeinginan untuk memilikimu Kim Yoo. Aku hanya ingin dekat denganmu. Cukup dengan melihatmu tersenyum setiap hari, aku sudah cukup senang, seperti yang ku lakukan beberapa saat lalu.” Kata – kata itu keluar dengan sendirinya

“lagi pula, kau hanya menganggap Min Woo teman? Tapi sebenarnya kau tahu Min Woo sangat menyukaimu. Walaupun bagimu, dia hanyalah teman, namun bagiku, dia adalah sahabat terbaikku.” lanjutku

“mengapa kau bohongi dirimu sendiri?” Kim Yoo sangat tahu tentang perasaanku. Aku juga bingung dengan semua ini, kami masih tetap diiringi oleh suara biola.

“menyedihkan! Min Woo menyukaimu lebih dari kau mengetahuinya Kim Yoo. Aku telah berjanji tidak akan membiarkan siapapun terluka.” Hampir saja air mataku meluap.

“lalu? Bagaimana dengan dirimu.”

“aku… cukup aku dan diriku yang mengerti.”

“aku cukup mengerti Soo Eun. Kau…”

“iya! Kau tahu aku juga tahu bahwa aku menyukaimu.”

“lalu, apalagi? Mengapa kita tidak bisa bersama?”

“lupakan Kim Yoo, aku pasti sudah gila. Tidak, aku tidak menyukaimu, aku tidak boleh menyukaimu. Aku mohon, lupakan kata – kataku tadi ya? anggap saja itu tidak pernah terjadi. Kim Yoo, aku percaya padamu.”

“aku tidak bisa melakukan hal itu. Soo Eun”

“aku mohon. Setelah ini aku tidak akan mengganggumu lagi.” Pembicaraan selesai. Lalu kami putuskan untuk pulang.

Kami berpisah di depan rumah untuk menatap masa depan yang lebih indah di kemudian hari, aku membungkukkan badan untuk berterimakasih pada Kim Yoo sebelum ia masuk ke dalam mobil.

“terimakasih Kim Soo Eun. Perasaan ini terlalu indah untuk dibuang ataupun dilupakan.” Lalu ia masuk ke mobil dan pergi dari hadapanku.

terimaksih’ adalah kata – kata yang selalu ku nantikan dari Kim Yoo, dan di hari yang berbahagia ini aku telah mendengarnya secara langsung, terimakasih itu untuk menghargai perasaanku, tepat seperti yang aku harapkan. Lalu, apalagi yang harus akuu dapat dari Kim Yoo?!! Sudah cukup. Walaupun aku tak dapat memilikinya, setidaknya tak ada yang terluka.

Dan entah kapan aku bertemu lagi dengannya, yang pasti aku berharap dia selalu mengingatku sebagai orang yang berharga dalam hidupnya. Di jendela kamarku, aku melihat matahari yang akan segera terbenam di pantai, pantai dan sekolah yang telah menyimpan banyak memoriku bersama Kim Yoo. Aku akan menatap hari esok yang lebih baik.

By: ninieLonly

Ketika Keadaan Memaksaku…

By: Heny Aprillia

Memang benar aku gak tepatin janjiku,

tp aku gak pengen nyakitin kamu dgn tingkahku itu

tolong say! Plis,..jgn bahas itu lagi…

aku minta maaf jika selama ini aku gak bisa nepatin janjiku

aku juga minta maaf, aku udah bikin kamu nangis

tp yg jelas aku gak pernah menginginkan hal itu

Sms yg di kirimnya untuk ku, hari ini kami memang sedang bertengkar hanya karena hal yang kecil. Aku tidak tahu apakah dia lakukan ini karena menyayangiku? Atau dia telah bosan bersamaku? Seakan – akan aku telah menyakitinya, hari itu hari Selasa hari ketiga kami kelas IX melaksanakan Ujian Akhir Semester, aku dikejutkan dengan sikapnya yang aneh, seakan muak melihatku. Saat bertemu, dia berpaling.

apa salahku?” berhari – hari pikiran itu terus menghantuiku. Entah mengapa, sifatku. Aku selalu tidak dapat mengatakan semuanya di hadapan Riko, ya! dia adalah orang yang ku sayangi, bahkan sangat – sangat ku sayangi. Tapi mengapa selalu begini? Haruskah aku yang selalu memulai? Tidakkah dia menyadari aku sangat membutuhkan kasih sayangnya.

Masalah. Hhheeemmmfff!!!! Aku lelah merasakan semua ini, aku selalu berusaha meyakini satu keputusanku untuk melangkah menuju hatinya, menjamah rumah hatinya. Namun selalu ini yang terjadi, Riko selalu membuatku merasa serba salah. Tapi entah mengapa aku tak bisa berhenti menyayanginya. Walau satu tahun sudah kami mengikat janji, namun semua berjalan seperti ini. Rumit!

Sakit! Berbulir” air mata jatuh di pipiku, sejenak aku berfikir untuk tidak terlalu menyayanginya. Namun aku gagal! Bagaimanapun rasa sakit ini tak sebanding dengan rasa sayangku padanya, terkadang aku merasa aku adalah manusia bodoh yang terlalu menyayangi Riko yang masih membagi perasaannya. Apa benar? Separuh rasa syangnya dia berikan pada Elda? Walaupun ini terasa berat, namun seandainya itu terjadi, aku akan merelakannya. Aku rela asalkan Riko bahagia #mungkin kata – kata itu terlalu munafik, namun itulah kenyataannya. Terlalu bodohkah aku jika melakukan hal itu? Tapi aku bisa apa?!

Riko masih tertidur pulas, sepertinya dia terlalu lelah hari ini. Apa harus aku lagi yang memulai mengiriminya Sms? Aku lelah dengan keadaan seperti ini. Kapan kamu akan mengerti betapa aku sangat menyayangimu Riko??? Jangan terus – terusan menyiksa aku. “fffuuhh…” aku mencoba untuk tenang, ku buat cerita indah untuk menyadarkannya, dihadapan laptop ku, lembar – demi lembar telah terisi dengan kisah tragisku ini. Air mata yang seakan menenggelamkan semangat hidupku kini telah habis terkuras. Kisah tragis ini! Mengapa harus terjadi padaku?

Hampir di penghujung ceritaku, HP fliptopku berdering, ‘message from Riko’ segera ku buka pesan itu. “Syank,..Aku benar* capek! Aku mau istirahat dulu” pesan itu membuat air mataku berderai, selalu sibukkah Riko? Sampai* tak ada waktu untukku.

Sekarang pukul 14:00, aku memutuskan untuk bertemu dengan Riko di tempat favorit kami. Aku tak pernah bisa tenang jika Riko marah padaku. “Syank, aku menunggumu di tempat biasa” aku mengetik itu lalu ku kirim pada Riko. Siang itu aku benar* ingin tahu mengapa Riko sampai tega menyakiti hatiku? Taxi yang kini melaju membawa diriku, menelusuri setiap jalan. Tak sengaja ku lihat Riko berada di depan cafe bersama Elda. Betapa hancur hatiku!

Rik! Beri aku penjelasan. Kenapa kamu jalan sama Elda?” air mata yang tak terbendung jatuh, mengalir deras dipipiku.

Karena kita udah berbeda Dit! Aku rasa kamu ngerti, tapi maafin aku. Ini semua di luar kehendakku” begitu mudahnya dia mengatakan itu.

apapun yang bikin kamu bahagia Rik! Jangan biarkan aku dengan luka ini.” Sebelum ku dapatkan satu jawaban pasti, dia telah pergi meninggalkanku dengan status yang tak pasti.

Tiga hari setelah itu, aku melihat Riko terbaring di UKS setelah bel pulang. Dia sakit, pucat pasi, aku kira ada Elda di sana, ternyata dia sendirian.

“Rik! Tahu Elda? Kemana dia?” aku sudah mulai bisa merelakan semua perasaan ini.

Riko menggenggam tanganku erat*. Dia duduk di atas ranjang UKS, matanya berkaca – kaca, dia benar* sakit lahir dan batin.

“jangan gini. Gak enak kaloo entar diliat Elda Rik!” segera ku lepaskan tangan Riko.

“jangan tanya tentang dia lagi Dit. Plis,” hawa sendu kini menyelimuti kami.

berhasilkah aku meyakinkannya?” pikiran itu terbawa sampai rumah.

Tidak, tidak akan. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kini asalkan aku masih dapat melihatnya tersenyum. Aku cukup bahagia, hari – demi hari aku berusaha mengikis perasaanku pada Riko. Kini aku akan menjalani kehidupan yang lebih baik walaupun tanpa seseorang pengganti Riko. Rasa sayang yang tersisa akan ku berikan kepada kedua orang tuaku dan adik – adikku, tak lebih dari itu. Sudah cukup aku mempelajari arti ‘cinta’ yang semu seperti kisahku bersama Riko. Cukup ku jadikan pelajaran, agar aku lebih teliti dalam menghadapi kehidupan yang rumit ini.

Aku menyadari satu hal, bahwa kasih sayang yang kita miliki lebih dari cukup  untuk di berikan pada orang lain. Dengan demikian tak ada alasan bagiku untuk tidak menyayanginya namun itu sebatas ‘teman’. Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyayangi siapapun, karena berbagi kasih sayang adalah hal terindah dalam kehidupan.

 

By: ninieOnly

 

All Kisah . . .

Gambar

All Kisah…

by: heny aprillia

            Pagi ku, masih sama. . . Ditemani oleh satu gelas susu hangat dan roti isi selai stoberi. Yang membedakan pagi ini dengan pagi – pagiku sebelumnya adalah, sejuknya suasana perkebunan, membuatku terlena. Kicauan burung dipagi hari lebih merdu didengar, dari pada kebisingan di kota … Dinginnya udara di sini, setidaknya dapat mendinginkan hatiku yang sedang panas dilanda perasaan yang tak menentu. Sebelumnya, perkenalkan… Namaku Vina, kalian dapat memanggilku ‘Nana’. Aku baru saja memasuki jenjang SMA, semester satu baru saja dimulai. Bersamaan dengan itu, hubunganku dengan Sandi berakhir.

“ Aku, udah lama suka sama kamu Na. Kamu? Juga suka kan sama aku?”

Tiga bulan yang lalu, Sandi bicara secara langsung. Tak ku sangka Sandi akan hadir di hidupku, aku tak dapat mengelak, aku tak dapat membohongi diriku sendiri bahwa aku juga menyukainya. Singkat cerita, kini hubungan kami semakin lama semakin sulit. Kami terpisah oleh jarak, ‘Long Distance Relationsip’ istilah itu mewakili hubungan kami. Hari ini, adalah hari terakhir masa orientasi sekolah. Lelah ku baringkan diri sejenak di atas tempat tidur, tak  lama setelah itu ponselku berdering. Tampak pada layar ‘massage from Sandi’, akhirnya ku balas pesan itu. Tiga hari telah berlalu, kini aku tak pernah lagi membalas pesan dari Sandi, bukan karena aku tak menyayanginya lagi. Tapi kini keadaan menuntutku untuk fokus pada sekolah.

Belum lagi kegiatan diluar sekolah: Bimbingan belajar, Ekskul, de el el… Hal – hal seperti itu membuat perhatianku pada Sandi tak seperti dulu lagi. Sepulang dari bimbingan belajar, aku sempatkan mengirim pesan pada Sandi.

“hunny… maaf ya belakangan ini, aku sering cuek. Tapi, hunny tentunya tau kan  gimana kegiatan di SMA? Okk, aku yakin hunny pasti ngerti ya kan?” from: Nana_

“iya sweety…aku ngerti, di sini kegiatanku juga banyak. Aku sayang sama sweety” from: Sandi_

“iya hunn.. tapi seandainya hunny bener – bener gak kuat dengan situasi kayak gini, hunny bilang yaa ^_^” from: Nana_

“iya sweety, pasti…” from: Sandi_

Setelah perjanjian itu dibuat, awalnya kami memang saling mengerti satu sama lain. Tapi setelah beberapa hari berjalan, hubungan kami tak dapat diselamatkan.

“sweety… kenapa sih sekarang jadi cuek banget sama aku? Kalo kayak gini terus aku kayak bukan cowoknya sweety! Dan lebih baik, kita bubaran aja…” from: Sandi_

“apapun yang terbaik buat hunny, kalo emang ini  keputusan yang terbaik. Okk, kita putus. Aku mau ucapin maaf atas kekuranganku dan makasih untuk semuanya yang udah hunny lakuin buat aku” from: Nana_

Entah apakah aku harus menangis atukah aku harus bahagia??? Satu hal yang kusadari, hari itu tepatnya adalah hari jadian kami. Entah Sandi sadar atau tidak dengan hal itu… tak ku sesali semua yang telah terjadi, keyakinanku akan ada hari yang lebih baik di hadapanku. Meskipun tanpa Sandi. Aku benar – benar ingin melupakannya !!!

Cerita baru… tak terasa sudah hampir satu tahun aku tinggal di daerah perkebunan ini. Semuanya berjalan dengan lancar, begitu juga dengan sekolahku. Pagi ini adalah pagi minggu yang cerah, aku berniat jogging sambil berkeliling di perkebunan teh. Dengan headset, dan pakaian jogging masa kini juga tentunya sepatu sport *ciaciacia ^_^

Now playing  James Blunt –You are Beautiful. Menemani joggingku pagi ini, aku berhenti sejenak di sekitar rel kereta api, lalu berjalan di atasnya. Rasanya sejuk sekali udara di sini, tak ada angin tak ada hujan! Seorang *cowok menarik tangan ku keluar dari rel kereta. Dia tinggi, putih, kereenn… apalagi dengan pakaian yang casual seperti itu.. wow!

“cari mati kamu?” bentaknya

“mas! Rel kereta sepi kayak gini, mau mati gimana?!!” aku mengelaknya

“sepi!!! Lihat tuh kereta di belakang!” dia menunjuk kereta yang masih sangat amat jauh di belakang sana…

“hhuuffftt! Mas… kereta masih jauh juga, jangan lebay”

“ayo ikut aku!” dia menarik tanganku, mengajakku ke sebuah kios mungil di sekitar stasiun.

Aku duduk di sebuah bangku berwarna putih, dengan beberapa bagian yang sudah berkarat. Toleh kanan, kiri, depan, belakang… seperti anak hilang,..

“ini minum dulu.” Cowok itu memberikan segelas teh hangat yang baru saja ia beli dari kios.

“aku gak bisa minum ini”  aku tidak yakin dia cowok baik – baik.

“kenapa? Alergi teh?” jawabannya polos banget  -_-“

“aku gak gampang percaya sama orang asing” kedengerannya aku jahat banget.

Nah, akhirnya kamii saling berkenalan.

“ya, aku lupa. Kenalkan namaku Gilang. Kamu?” dia menjabat tanganku. Sedikit risih sebenarnya, bukan karena dia menjabat tanganku tapi dengan pandangannya yang… wow!

“aku, Vina. Mas bisa panggil aku Nana” simpul senyum ku tunjukkan padanya. Lalu, sepertinya nama itu tidak asing di telingaku… aku mencoba mencari titik ingatann tentang nama itu di setiap sudut otakku.

“Mas Gilang?!!”  sontak aku mengejutkannya.

“kamu ini bikin kaget aja! Jangan sok akrab.” Jawabnya datar.

“emm,.. bukannya sok akrab. Tapi, mas itu udah kayak artis di sini. Selalu di bicarain. Katanya,, mas itu orang pertama yang berhasil kuliah di Jakarta terus sekarang udah kerja ya?”

“masa’ sampek segitunya? Emm… bisa di bilang begitu lah.kamu orang baru ya di desa ini?”

“iya mas baru beberapa bulan. Mas tau dari mana?”

“iya tau. Kamu belum kenal daerah ini dengan benar. Kamu tau kenapa aku ajak kamu ke sini?” Gilang menatap mataku.

“ngeri ahh mas jangan ngeliatin aku kayak gitu! Emangnya apa yg aku gak tau?”

Gilang mulai bercerita:

Dua tahun yang lalu, adalah tahun yang kelabu di perkebunan ini. Seorang cewek belia, tewas mengenaskan di rel kereta api itu. Bukan karena masalah apapun, entah itu masalah dengan keluarganya ataupun karena putus, de el el… cewek itu tertabrak kereta yang melintas saat mengejar kucing kesayangannya, kejadian itu terjadi pada pagi hari setelah ia membuka kandang si kucing, dan tepat di hari pertunangannya. Jasatnya di temukan oleh seorang petani teh ketika hendak berkebun.

Dengan darah yang berceceran di mana – mana, dan di temani kucing peliharaannya ia di temukan. Dan karena kejadian itu, membuat ribut desa ini.

“terus? Gimana nasib tunangannya?” aku semakin antusias dengan cerita ini.

“iya, dengerin dulu” mas Gilang memulai ceritanya lagi.

Tunangannya yang pada waktu itu masih ada di Bandung untuk mengemban tugas  negara. Dia seorang TNI muda… tentu saja shock dan berubah menjadi seperti orang ling lung. Seminggu setelah kejadian itu, dalam keadaan masih  berkabung. Si cowok melaksanakan tugas penerbangan, entah mungkin karena takdir, pesawat yang ia kemudikan, jatuh ketika hendak turun landas. Dan ia tewas di TKP, bersamaan dengan kejadian itu, kucing kesayangan almarhumah si cewek juga mati karena keracunan.

“mas… bulu  kudukku berdiri nih!” aku mulai memandang sekeliling, suasana perkebunan yang masih berkabut.

“makanya, kalo jogging jangan sampek di rel situ. Dan jangan sendirian!”

“he.e” jawabku singkat disertai dengan anggukan kecil.

Setelah pertemuan singkat itu, aku dan mas Gilang semakin akrab. Setelah  beberapa hari berada di desa ini, mas Gilang harus kembali ke Jakarta untuk  mulai bekerja. Tapi kami tidak lost contact kok, kami masih sering saling mengirim pesan. Pastii kalian menebak, aku mulai menyukai mas Gilang?! Iya kan?!! Emm… memang benar aku mulai menyukainya. Tapi, dia baru saja putus dengan ceweknya. Huft!!! Biarlah mengalir seperti air. Asalkan tetap akrab seperti ini, aku sudah bahagia…

Sudah beberapa bulan kami saling akrab, dan itu semakin membuatku menyukainya. Dengan perhatian yang ia berikan, de el el… itu membuat hari – hariku berwarna lagi. Seakan – akan dia memberikan harapan untuk ku menjamah hatinya. Tapi, entahlah biarkan saja waktu yang akan menjawabnya.

Jarak tidak akan mengubah perasaan seseorang. Yang mampu mengubah perasaan adalah perhatian, pengertian  dan bagaimana cara seseorang mampu mewarnai hari –hari  kita dengan cerah! Bagaimana cara ia memandang cinta kita dengan sempurna. Dan bagaimana caranya untuk berusaha menjadi pelengkap puzzle kehidupan kita, tanpa mengubah posisi serpihan puzzle yang lain. Dan seperti itu lah harapan yang kini di terbangkan oleh angin, yang ku tujukan pada Gilang nan jauh di sana…

By:NinieAprillia.wordpress.com